Etika dan Hukum Euthanasia

1.1  Latar Belakang
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas kasihan”.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4”) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya.
Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria.
Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Euthanasia
2.1.1 Seputar Euthanasia
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1.   Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2.   Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3.   Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.

2.1.2  Pengertian Euthanasia
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. (K. Bertens, 2001)
Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. (Ensiklopedia bebas, 2012)
Euthanasia adalah berbuat atau tidak berbuat yang dalam perbuatan itu sendiri atau dalam intensi menyebabkan kematian agar dengan cara ini semua penderitaan dapat dihilangkan.
Konsepsi Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
2.2. Sejarah Euthanasia
Sebenarnya, persoalan euthanasia bukanlah hal yang baru. Sepanjang sejarah manusia, euthanasia sudah diperdebatkan dan dipraktekkan. Sejarah euthanasia dapat dilihat antara lain sebagai berikut :
2.2.1  Lingkup Budaya Yunani-Romawi Kuno
Perdebatan euthanasia dalam era ini dapat dilihat dari pandangan beberapa tokoh kuno. Posidippos, seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis, “Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada kematian yang baik (Fr. 18)”. Philo, seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa euthanasia adalah ‘kematian tenang dan baik’.
Suetonius, seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya dan bagi keluarganya ‘euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Augustus 99). Cicero, seorang sastrawan, hidup sekitar tahun 106 BC, memakai istilah euthanasia dalam arti ‘kematian penuh kehormatan, kemuliaan dan kelayakan’ (Surat kepada Atticus 16.7.3). Seneca, yang bunuh diri tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada sengsara merana“.
2.2.2   Zaman Renaissance
Pada zaman renaissance, pandangan tentang euthanasia diutarakan oleh Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan gagasan euthanasia medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan euthanasia untuk membantu orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “the Best Form of Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti makan atau dengan racun yang membiuskan.
2.2.3  Abad XVII-XX
David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri (Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume, London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan euthanasia.
Tahun 20-30-an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah euthanasia zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche (psikiater) membenarkan euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul : Die Freigabe der Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920. Dengan demikian, terbuka jalan menuju teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.
2.2.4  Sekarang Ini (Abad XXI)
Dewasa ini, baik di negara-negara Eropa, Amerika Utara maupun Indonesia, perdebatan etis, moral, dan teologis tentang euthanasia semakin marak. Persoalan legalisasi euthanasia pun menjadi tuntutan umum, bahkan euthanasia sudah dilegalkan di Belanda dan Luxemburg. Sementara itu, praktek euthanasia sendiri pun diyakini sudah banyak dilakukan, juga di Indonesia, meskipun secara legal hal itu dilarang.
2.3   Macam-macam Euthanasia
Macam-macam euthanasia yaitu sebagai berikut :
2.3.1  Dari Sudut Cara/Bentuk
Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal :
  1. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan tujuan menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.
  1. Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah dimulai dan sedang berlangsung.
c.   Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
2.3.2  Dari Sudut Maksud (Voluntarium)
Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:
a.  Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada kematian.
b.  Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.
2.3.3  Dari Sudut Otonomi Penderita
Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
a.  Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat menyatakan kehendak (incompetent).
b.  Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang lain (transmitted judgement).
c.  Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted judgement).
2.3.4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa
Dari sudut motif dan prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
a.   Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena sebab lain.
b.    Prakarsa dari pihak luar, artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau kepentingan yang lain.
2.4  Tindakan Euthanasia
Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
a.    Langsung dan sukarela : memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien. Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri.
b.   Sukarela tetapi tidak langsung : pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya.
c.   Langsung tetapi tidak sukarela : dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat.
d.   Tidak langsung dan tidak sukarela : merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap paling mendekati moral.

2.5  Euthanasia menurut Hukum diberbagai NEGARA

Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara BelandaBelgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di SpanyolJerman dan Denmark.
–          Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.

–   Australia

Negara bagian AustraliaNorthern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

–  Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September 2002. Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan euthanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi euthanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

–   Amerika

Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.

–          Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

–           Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan euthanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi euthanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga saat ini euthanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang euthanasia dalam bentuk apapun juga.

–          Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai euthanasia tersebut.
Ada 2 kasus euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “eutanasia pasif” (shōkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “euthanasia aktif ” (sekkyokuteki anrakushi).
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana euthanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian euthanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan euthanasia.

–           Republik Ceko

Di Republik Ceko euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

–           India

Di India euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia). Pada kasus euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.

–           China

Di China, euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986dimana seorang yang bernama “Wang Mingcheng” meminta seorang dokter untuk melakukan euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People’s Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

–           Afrika Selatan

Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang euthanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku euthanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.

–           Korea

Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang euthanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal dengan “Kasus rumah sakit Boramae” dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata euthanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa “pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan euthanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.

2.6  Praktik-praktik Euthanasia di Dunia

Praktik-praktik euthanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat :
  • Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.
  • Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
  • Uruguay mencantumkan kebebasan praktik euthanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
  • Di beberapa negara Eropa, praktik euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
  • Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, euthanasia dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
  • Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan tertentu dapat meminta tindakan euthanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya tidak pernah dilakukan euthanasia aktif, namun mungkin ada praktik-praktik medis yang dapat digolongkan euthanasia pasif.

2.7   Pandangan tentang Euthanasia di Beberapa Aspek

Ada berbagai macam pandangan euthanasia di beberapa aspek yaitu sebagai berikut :
2.7.1 Aspek Agama
a.  Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah suatu konsekuensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi. Ahimsa adalah prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapa pun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu sebab perbuatan tersebut dapat menjadi faktor yang mengganggu karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kelahiran kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan. Misalnya, seseorang bunuh diri pada usia 17 tahun padahal dia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun. Maka selama 43 tahun rohnya berkelana tanpa arah tujuan. Setelah itu, rohnya masuk ke neraka untuk menerima hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma”-nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya.
b.  Agama Buddha
Agama Buddha sangat menekankan larangan untuk membunuh makhluk hidup. Ajaran ini merupakan moral fundamental dari Sang Buddha. Oleh karena itu, jelas bahwa euthanasia adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain itu, ajaran Budha sangat menekankan pada “welas asih” (“karuna”). Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha. Tindakan jahat itu akan mendatangkan “karma” buruk kepada siapa pun yang terlibat dalam tindakan euthanasia tersebut.
c.  Agama Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29).
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:
a. Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.
b. Euthanasia negatif
Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
d.  Gereja Ortodoks
Gereja Ortodoks punya kebiasaan untuk mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga hingga kematian melalui doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Kehidupan hingga kematian dipandang sebagai suatu kesatuan kehidupan manusia. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan anti euthanasia.
e.  Agama Yahudi
Agama Yahudi melarang euthanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya ke dalam “pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan, sumber dan tujuan kehidupan. Walaupun dengan motivasi yang baik, misalnya mercy killing, euthanasia merupakan kejahatan karena melawan kewenangan Tuhan. Dasar yang dipakai adalah Kej 1:9, “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia”.
2.7.2   Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
2.7.3 Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

2.7.4 Aspek Hukum dan Etika
Undang-undang Hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP : “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313 KUH Perdata  : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.  Dan pada Pasal  1314 , 1315, dan 1319 KUH Perdata.
Dalam bidang pengobatan, jelas ada hubungan atau persetujuan antara pasien atau keluarga pasien dan satu orang dokter atau beberapa dokter. Disatu pihak pasien atau keluarga pasien memerlukan kepandaian dan keterampilan dokter untuk mengatasi masalah kesehatannya atau keluarganya, sedangkan dipihak lain para dokter mempunyai kepandaian dan keterampilan yang dapat diberikan untuk kesembuhan pasien. Dengan demikian terjadi perjanjian terhadap dua pihak, Didalam undang-undang perikatan adalah hubungan hokum antara dua orang atau lebih, dengan pihak yang berhak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain. Sedangkan pihak lain itu berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal yang berhubungan dengan euthanasia adalah :
Pasal 338 KUHP : “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun”.
Pasal 340 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
Pasal  359 KUHP : “Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :
Pasal 345 KUHP : ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2).
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Pasal 356 (3) dan pasal 306 (2) terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum aktif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” .
Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar atas tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan.
Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.
Bertolak dari ketentuan semua Pasal-pasal tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum aktif di Indonesia, euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien / keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Penilaian etika euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya dalam decade sekarang ini. Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma moral yang sangat fundamental untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau dalam segala aspek kebudayaan diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk dalam bidang agama. Malah boleh dikatakan, ini norma moral yang paling penting, sebagaimana pelanggarannya juga merupakan kejahatan paling besar. Namun demikian norma moral ini pun tidak bersifat absolute. Rasanya dalam etika tidak ada norma moral yang sama sekali absolute. Karena itu disekitar norma ini pun selalu masih ada hal-hal yang dipermasalahkan. Dizaman sekarang menyangkut hukuman mati dan euthanasia, tetapi berlawanan. Apakah pantas Hukuman mati dipertahankan sebagai pengecualian atas larangan untuk membunuh sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak perlu diakui adanya pengecualian atas larangan untuk membunuh.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a.  Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Eutanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana, yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa negara yang telah melegalkan tindakan eutanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang harus dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika dan Hati Nurani

Etika dan Hukum Rumah Sakit

ETIKA DAN HUKUM DALAM PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR